Mengenalkan Keberagaman, Membangun Paradigma (Studi Mikro Politik di Sanggar Cantrik - Yogyakarta)
Sanggar Cantrik – Yayasan Sahabat Gloria adalah sebuah gerakan yang dilahirkan dari institusi agama dan berfokus pada pengembangan pendidikan bagi anak-anak di daerah urban. Di dalam sebuah fase kelahirannya, Sanggar Cantrik berkenalan dengan ide-ide pendidikan multikulturalisme dan berupaya mengenalkan nilai tersebut melalui program pendidikannya. Ide pendidikan multikulturalisme tersebut disemaikan di dalam misi Yayasan Sahabat Gloria untuk melakukan penginjilan. Kondisi tersebut yang menjadi hal yang menarik di dalam penelitian ini, ide multikulturalisme ditumbuhkan di dalam sebuah ruang berupaya melakukan penyebaran keyakinan. Penelitian ini menggunakan metode authoetnography. Penelitian ini berupaya mendokumentasi perjalanan saya sebagai peneliti sepanjang 10 tahun menemani dan mengawal lahir serta besarnya Sanggar Cantrik sejak tahun tahun 2005. Menggunakan pilihan tersebut memberikan sebuah fundamen metodologis yang memungkinkan saya sebagai peneliti menggunakan email, catatan pembicaraan, dokumen program, notulen meeting, hasil observasi, ingatan yang diverifikasi, serta berbagai rekaman proses lainnya untuk mengkontruksi sejarah Sanggar Cantrik – Yayasan Sahabat Gloria. Sanggar Cantrik di dalam penelitian ini dianggap sebagai ruang publik dimana ide-ide tentang multikulturalisme dan tafsir-tafsir ajaran kristen didiskursuskan. Program dan berbagai produk budaya yang dilahirkan oleh sanggar merupakan proses dan juga simbol dari proses diskursus sepanjang 10 tahun tersebut. Temuan di dalam penelitian membagi sanggar cantrik ke dalam tiga fase pertumbuhan. Fase awal kelahirannya, fase proses bertumbuh, dan fase akhir menjelang kemandiriannya. Di setiap fasenya, Sanggar Cantrik menemukan dinamikanya sendiri. Mulai dari membangun sebuah ruang publik – rasional dengan membuka ruang terhadap berbagai ide. Hingga kemudian bertranformasi menjadi sebuah ruang publik dengan ide tunggal. Diskursus yang terjadi meskipun dengan argumen yang rasional tidak pernah menghasilkan sebuah konsensus. Jalan tengah yang selalu dipilih adalah kompromi diantara ide dan paradigma yang sedang berjumpa. Kompromi menjadi pendekatan yang selalu muncul sepanjang 10 tahun perjalanan Sanggar Cantrik. Gagalnya diskursus di dalam Sanggar Cantrik ditengarai karena adanya sekat yang tinggi diantara ide dan paradigma. Ide dan paradigma tersebut bertransformasi menjadi identitas yang menjadi dasar untuk menentukan siapa kami dan mereka. Meski berasal dari identitas (agama) homogen namun perbedaan tafsir membuat perbedaan tersebut menjadi penghalang diskursus. Penghalang tersebut meminjam kontruksi Habermas sebagai ketulian terhadap argumen yang berbeda. Berpijak dari temuan di Sanggar Cantrik ruang publik rasional yang dapat membangun konsensus mengenai „good-life‟ agaknya semua imaji ideal. Karena pada praksisnya, rasionalitas dan kemampuan untuk melakukan diskursus hingga pada konsensus hampir tidak mungkin terjadi. Pada perbedaan yang terlalu ekstrim, kompromi adalah pilihan yang paling memungkinkan. Ruang Publik yang ideal model Habermas hampir tidak mungkin terjadi. Kondisi cetiris paribus yang melekat pada rasionalitas di dalam public sphere hampir tidak mungkin terpenuhi. Kompleksitas perbedaan yang membangun paradigma dan juga identitas membuat rasionalitas terhenti ketika diskursus mencoba dilakukan diatasnya.
FX Agus Mulyono - Personal Name
212122007 - FX Agus Mulyono
TESIS PGSC - POLITICAL
Tesis PGSC
Indonesia
Universitas Paramadina
2015
Jakarta
LOADING LIST...
LOADING LIST...