Kekerasan seksual di Indonesia jumlahnya terus meningkat dengan angka kasus yang terlapor lebih sedikit dibanding jumlah yang terjadi sebenarnya. Korban enggan melaporkan karena takut dan justru kerap disalahkan. Maka, diperlukan undang-undang yang secara komprehensif memberikan payung hukum yang jelas untuk menindak pelaku dan melindungi korban kekerasan/pelecehan seksual. Ialah UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang disahkan setelah 10 tahun diajukan. Penelitian ini hendak mengidentifikasi implementasi teori upstream social marketing dan co-cultural dalam pengajuan UU TPKS berdasarkan hasil wawancara informan dan data yang dihimpun dari berbagai sumber. Metode kualitatif deskriptif melalui studi kasus diterapkan guna mendapat penjabaran secara menyeluruh dari Komnas Perempuan sebagai penggagas lahirnya UU TPKS, dengan menggunakan paradigma konstruktivisme serta paradigma kritis. Peneliti tidak menemukan penelitian sebelumnya yang membahas pokok permasalahan yang sama dengan metode dan teori yang sama. Peneliti menemukan UU TPKS sebagai produk sosial yang dipasarkan oleh pemasar sosial yaitu Komnas Perempuan kepada anggota parlemen sebagai target audiens, dengan lima tahapan implementasi upstream social marketing yang terpenuhi. Juga, tiga dari sembilan orientasi komunikasi co-cultural Mark Orbe (1998) yaitu asimilasi asertif, akomodasi non-asertif, serta akomodasi asertif dengan kedudukan Komnas Perempuan sebagai kelompok budaya co-cultural dan anggota parlemen sebagai kelompok budaya dominan.

Kata Kunci: Komnas Perempuan, UU TPKS, upstream social marketing, co-cultural, kekerasan seksual, pelecehan seksual, kelompok marginal