Sejak tahun 1989, kerjasama internasional dalam melawan TPPU dan TPPT yang bersifat lintas batas negara telah diinisiasi oleh negara maju melalui pembentukan FATF. Meskipun berhasil menerapkan rekomendasi pencegahan TPPU dan TPPT terhadap yurisdiksinya, FATF dianggap sebagai forum politis yang dapat menekan suatu negara melalui mekanisme blacklist dan greylist. Indonesia pernah masuk dalam daftar tersebut di tahun 2001 dan tahun 2012 hingga akhirnya berhasil keluar dan memulai proses untuk bergabung sebagai anggota penuh FATF di tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis upaya Indonesia mencapai regional hegemon di bidang TPPU dan TPPT melalui keanggotaan penuh di FATF. metide pengumpulan data diperoleh melalui wawancara dengan Kementerian Luar Negeri RI, BNPT dan Akademisi serta studi pustaka. Data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan perspektif regional hegemon Miriam Prys (2010) yang menggunakan empat dimensi, yakni: self-perception, regional acceptance, projection of values and norms, serta provision of public goods. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan Indonesia untuk bergabung dalam FATF merupakan salah satu upaya untuk mencapai regional hegemon di kawasan Asia Tenggara. Melalui dimensi self-perception, Indonesia ingin menguatkan posisinya sebagai “pemimpin” di kawasan Asia Tenggara. Dalam dimensi regional acceptance, negara lain di dalam kawasan Asia Tenggara juga telah mengakui kepemimpinan Indonesia di kawasan. Dalam dimensi projection of values and norms serta provision of public goods, Indonesia menyediakan berbagai “insentif” terhadap negara lain di kawasan, seperti penerapan soft power, melaksanakan forum multilateral dan kerjasama pelatihan dalam menghadapi ancaman TPPU dan TPPT. Hal ini menunjukkan bahwa negara menggunakan kerjasama internasional sebagai salah satu “alat” untuk mencapai kepentingan nasional yang ingin diraihnya.

Kata Kunci : FATF, TPPU, TPPT, Regional Hegemon.