Hubungan diplomatik maupun kerjasama bilateral antara pemerintahan Indonesia dan Tiongkok terbukti membaik selama 10 tahun terakhir dimana sudah berlangsung dari tahun 2001. Berbagai kerjasama dalam bidang ekonomi, maritim, dan yang lainnya dipandang mampu mendatangkan perkembangan perekonomian yang baik bagi kedua belah pihak. Salah satu kerjasama yang terjalin antara Indoensia dan Tiongkok adalah dalam sektor bisnis perkapalan, baik dalam sektor penangkapan ikan, pengiriman barang, ataupun sebagai alat transportasi. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kasus perbudakan terhadap ABK WNI yang bekerja di kapal Long Xin yang berbendera Tiongkok. Kasus ini pertama kali menjadi berita sensasional ketika stasiun televisi Korea Selatan memberitakan adanya indikasi perbudakan di kapal tersebut. Penelitian ini difokuskan pada kasus pelanggaran HAM terhadap ABK WNI yang bekerja di kapal Long Xin milik Tiongkok. Kasus ini menjadi kompleks karena kurangnya landasan hukum mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Long Xin. Indonesia sendiri telah mencoba membahas kasus ini secara bilateral dengan pemerintah Tionkok, namun kedua negara masih belum memiliki sesuatu yang konkrit untuk dijadikan pedoman penyelesaian kasus tersebut. Salah satu kendala dalam upaya diplomasi Indonesia adalah kedua negara belum meratifikasi Konvensi ILO 188. Akibatnya kedua negara tidak memiliki landasan hukum yang sama untuk menegakkan hukum dalam kasus ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan beberapa teori, antara lain konsep hak asasi manusia, teori perlindungan hukum, dan teori kerjasama internasional. Penelitian ini juga berusaha untuk memberikan pandangan secara akademik untuk terciptanya titik tengah melalui diplomasi yang dilakukan antara negara Indonesia dan Tiongkok dalam mengatasi kasus ini.

Kata kunci: HAM, Kapal Long Xing, Perbudakan