Studi ini membahas tentang komunikasi politik keluarga korban pelanggaran HAM pasca-rezim otoriter Orde Baru. Lewat gerakan Payung Kamisan, asosiasi keluarga korban pelanggaran HAM melakukan aksi protes secara rutin menuntut keadilan. Sejak 2007 para keluarga korban –yang sebagian besar terdiri dari para ibu– dari beragam kasus berkumpul setiap hari Kamis dengan berpakaian hitam, berpayung hitam, dan membuat berbagai bentuk demonstrasi damai di depan Istana Presiden menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Salah satu persoalan yang muncul dalam transisi demokrasi adalah warisan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Kamisan menjadi ruang komunikasi pressure group (para korban pelanggaran HAM) dengan mengisi ruang publik lewat secara rutin berupa protes damai, menggalang solidaritas, menyampaikan pesan politik, dan melakukan lobi. Lewat pendekatan teori pressure group, framing, teori pemanfaatan ruang publik (public sphere), studi ini mengamati sejumlah agenda, taktik, dan strategi komunikasi politik yang dimotori oleh keluarga korban secara konsisten (2007-2014) setiap Kamis pukul 16.00-17.00 WIB. Dalam konteks trasitional justice, gerakan Kamisan memanfaatkan ruang publik secara maksimal dengan mengisi dengan isu penegakan hukum dan HAM, membuat model partisipasi publik secara terbuka, mengelola gerakan antar korban, mengusung isuisu HAM, membuat framing, maupun menghimpun sumberdaya sehingga dapat membangun “Blok Politik HAM”. Bahkan lahir gerakan (norm enterpreuner) yang dimotori oleh anak-anak muda dengan mengusung isu penegakan HAM dan berbagai tindakan kekerasan di beberapa kota, menumbuhkan solidaritas, partisipasi, dan dukungan publik dalam berbagai bentuk.

Kata Kunci: Komunikasi Politik, pressure group, framing, public sphere, trasitional justice.