Muhammad Nazaruddin merupakan buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pertama yang berhasil dipulangkan ke Indonesia. Pemulangan Nazaruddin tersebut dilakukan tidak melalui ekstradisi maupun Mutual Legal Assistence (MLA). Dua instrumen itu merupakan mekanisme internasional yang bisa digunakan untuk mencari serta memulangkan tersangka pelanggar hukum yang melarikan diri ke luar negeri. Pada praktiknya, kedua instrumen tersebut tidak bisa bekerja cepat. Diplomasi berperan penting dalam keberhasilan pemulangan Nazaruddin ke Indonesia. Diplomasi diperlukan untuk mengatasi keterbatasan kerjasama internasional dan hambatan yurisdiksi untuk menangkap buron korupsi di luar negeri. Penelitian ini bermaksud untuk menjabarkan strategi diplomasi yang dilakukan Indonesia dalam memulangkan Nazaruddin. Melalui kerangka analisis yang dikemukakan oleh Jean-Robert Leguey Feilleux, Indonesia menggunakan tiga tipe diplomasi, yaitu diplomasi bilateral, multilateral, dan misi khusus (special mission). Penggunaan tipe diplomasi pada level fungsional tersebut sesuai dengan kondisi di level global, nasional, transnasional, juga profesional. Keberhasilan memulangkan Nazaruddin dipengaruhi oleh terpenuhinya faktor-faktor yang penting dalam kerjasama, yaitu mutualitas kepentingan, bayangan masa depan, dan jumlah aktor yang terlibat, sebagaimana konsep yang dikemukakan oleh Robert Axelrod dan Robert O. Keohane. Keberhasilan pencarian dan pemulangan Nazaruddin membuktikan ketiadaan perjanjian ekstradisi dan MLA bukan jalan buntu untuk memulangkan buron yang melarikan diri ke luar negeri.

Kata Kunci : kerjasama internasional, pemberantasan korupsi, kejahatan transnasional, kemampuan negara
Daftar pustaka : 87 (1985-2015)