Kebahagiaan Dalam Pandangan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah dan Relevansinya Terhadap Masyarakat Modern
Persoalan kebahagiaan telah menjadi tema utama pembahasan para sastrawan, agamawan, dan filsuf selama berabad-abad. Pemikiran para filsuf Yunani, Barat, dan Islam telah memberi banyak pengaruh terhadap konsep kebahagiaan, termasuk cara menggapainya. Dalam hal ini, Ibnu Al-Qayyim menganggap penting untuk secara khusus membahas tentang kebahagiaan. Fenomena ini mendorong suatu penelitian untuk menggali makna kebahagiaan yang hakiki. Manusia zaman modern adalah manusia yang sangat sibuk dan aktif, namun seringkali kehilangan makna kebahagiaan dalam hidup. Kesepian dan rasa kesendirian seringkali menghinggapi hidup manusia di zaman modern. Kesibukan dan karir akan terasa dingin tanpa hangatnya kebahagiaan. Secara naturalistik, peneliti mengkonstruksikan berbagai macam pendapat para tokoh mengenai konsep dan cara menggapai kebahagiaan, baik dari Yunani, Barat, maupun Islam. Melalui metode deskriptif-analitis dan deskriptif-interpretatif, peneliti memaparkan sekaligus menganalisis konsep para tokoh tentang kebahagiaan untuk selanjutnya diinterpretasikan sesuai dengan konteks masyarakat modern. Plato berpendapat bahwa kebahagiaan hakiki tidak mungkin diraih di dunia. Menurut Plato, kebahagiaan hanya bisa diraih di akhirat kelak. Sementara Al-Farabi meyakini bahwa kebahagiaan bisa diraih, baik di dunia maupun di akhirat. Aristoteles mengedepankan kehidupan yang penuh dengan kebaikan sebagai prasyarat meraih kebahagiaan. Sementara itu Al-Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan hanya bisa diraih jika manusia mengenal Tuhannya (Ma’rifatullah) dengan cara mengenal dirinya. Dalam konsepnya mengenai kebahagiaan, Ibnu Al-Qayyim meyakini bahwa kebahagiaan hanya bisa diraih melalui ilmu dan kalbu. Inilah pintu masuk kebahagiaan menurut Ibnu Al-Qayyim. Berbagai cara untuk menggapai kebahagiaan yang diinginkan setiap orang sangatlah subyektif, semua ini tentu dilatarbelakangi oleh kondisi latar sosial, budaya, agama, suasana jiwa, dan, yang tak kalah penting, adalah faktor pendidikan. Dalam konteks masyarakat modern, ilmu adalah instrumen terpenting. Tanpa ilmu, setiap manusia akan kesulitan menjalani kehidupan. Kesulitan demi kesulitan akibat kebodohan akan semakin menjauhkan kita dari kebahagiaan. Kalbu adalah tempat merasakan kebaikan, ketulusan, dan kejujuran. Jika hati telah rusak, maka kemampuannya untuk mengetahui juga rusak. Kalbu tanpa ilmu adalah kebutaan, sementara ilmu tanpa kalbu akan sangat menghancurkan. Kemuliaan ilmu dan kebersihan kalbu adalah jalan masuk menuju kebahagiaan.
Kata Kunci: kebahagiaan, kebaikan, ilmu, kalbu, filsuf
Kata Kunci: kebahagiaan, kebaikan, ilmu, kalbu, filsuf
Ade Lutfi Nugraha Putra - Personal Name
219141010 - Ade Lutfi Nugraha Putra
Tesis MIAI
Indonesia
Universitas Paramadina
2021
Jakarta
142 hlm
LOADING LIST...
LOADING LIST...